Saturday, May 29, 2010

Kadang Kita tak Sadar kalau Kita Korupsi

Saya rasa kebanyakan orang di Indonesia sudah muak dengan korupsi. Terbukti dengan luasnya dukungan untuk KPK dan Pak Susno yang mengungkap mafia peradilan. Tetapi, terkadang kita tak sadar bahwa kita sedang melakukan korupsi. Mungkin karena korupsi sudah terlalu dekat dengan kita sehari-hari. Ya, seperti yang saya alami tadi pagi.

Tadi pagi-pagi sekali saya pergi ke bengkel mobil langganan. Pemiliknya baik dan montir2nya handal. Dari terakhir kali saya berkunjung saya lihat bengkelnya mengalami perluasan, sekarang mereka juga punya fasilitas spooring dan balancing. Saya tentu ikut merasa senang.

Ada beberapa item service yang saya minta: ganti oli, ganti karet shockbreaker, ganti karet wiper, serta perbaiki klakson. Saya dilayani oleh montir yang belum pernah melayani saya sebelumnya. Saat melakukan perbaikan klakson, tiba-tiba sang montir berkata kepada saya: "Mas, memperbaiki klakson ini ongkosnya 50 ribu. Tapi Mas bisa bayar 30 ribu saja ke saya, tidak perlu dimasukkan ke (billing-red) toko". Saya tertegun, tapi kemudian kehilangan kata-kata ketika ia melanjutkan, "Ini kebijaksanaan dari saya saja Mas, jadi untung kan, bisa bayar lebih murah?"

Sesungguhnya saya ingin berkata, "Kebijaksaan ndasmu peang apa??", tapi ditahan karena nasib mobil saya masih ada di tangan montir itu. Saya cuma bilang, "Dimasukkan ke toko saja Pak" .

Ada beberapa masalah dengan `kebijaksaanaan` itu. Yang pertama, karena pekerjaan dilakukan dilakukan di bengkel, dengan peralatan bengkel, dan waktu montir yang sudah dibayar bengkel, maka sudah seharusnya bengkel (alias pemilik toko) mendapat bagian dari hasil pekekerjaan itu. Mem-bypass toko memang akan membuat uang yang harus saya keluarkan lebih kecil (dan mungkin membuat bayaran nett yang dibawa si montir lebih besar), tapi itu menyalahi moral. Korupsi.

Permasalahan yang kedua. Mungkin si montir melihat, ah, Ncik pemilik tokonya sudah kaya, dipotong sedikit tidak akan masalah. Tapi dilihat lagi dong, kalau keuntungan berkurang tak perlu tentu pemilik toko akan kesulitan mengembangkan bisnisnya. Mungkin fasilitas spooring yang saya lihat masih mengilap tidak akan ada. Tidak ada juga montir baru yang dipekerjakan. (Saya yakin montir yang menawari saya tadi juga adalah montir baru, karena baru pertama saya lihat) Jadi malah rugi semua toh?

Oh btw, saya pernah dengar korupsi dengan modus sama persis di satu BUMN. Jadi dari sekian banyak item order pelanggan, ada satu-dua item yang dijadikan ajang perselingkuhan antara pegawai dan pelanggannya. Item2 ini tidak dilaporkan ke perusahaan, dan pelanggan langsung membayar ke pegawai dengan harga 'diskon'. Harga yang sudah didiskon ini masih lumayan lho, yaa cukuplah untuk membeli sebuah Honda Jazz baru. Lumayan sekali bukan untuk sang pegawai? Gaji dari perusahaan tetap masuk secara reguler pulak. Dasar gilak.

Yak jadi demikian teman. Kalau dapat tawaran jalan pintas seperti itu, pikir lagi, apakah ada hak-hak orang lain yang kita hilangkan?

Monday, May 24, 2010

Make Meaning

Saya mendapat link video ceramah Guy Kawasaki dari twitter tentang entrepreneurship dan start-ups. Judulnya "The Art of The Start" Isinya bagus deh.

Yang paling berkesan buat saya adalah poin pertama dari ceramahnya:

The best reason to start an enterprise is to make meaning

Dijelaskan lebih lanjut, ada 3 cara untuk itu:
  1. Increase the quality of life
  2. Right a wrong
  3. Prevent the end of something good
Hm, kalau dipikir, tiga poin di atas cocok untuk dijadikan template dalam mencari tujuan hidup, bukan cuma tujuan perusahaan. Worth of further thinking I say :)


Btw, saya kesulitan mencari padanan kata "make meaning" dalam Bahasa Indonesia. Ada ide?